RSS

KEDUDUKAN HUKUM WARIS ADAT TERHADAP PLURALISME HUKUM WARIS DI INDONESIA

  1. A.    Pluralisme Hukum Waris di Indonesia

Hukum  warisan di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini masih beraneka ragam bentuknya, masing-masing golongan penduduk tunduk kepada aturan-aturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan ketentuan Pasal  163  IS  Jo.  Pasal  131  IS. Golongan penduduk tersebut terdiri dari  :

– Golongan Eropa & yang dipersamakan dengan mereka

– Golongan Timur Asing Tionghoa  & Non Tionghoa

– Golongan Bumi  Putera.

Berdasarkan peraturan Perundang-undangan R. I. UU No. 62 / 1958 & Keppres  No. 240 / 1957 pembagian golongan penduduk seperti diatas telah dihapuskan tentang hukum waris ini dapat dilihat di dalam Hukum Kewarisam Islam, Hukum Adat & Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( BW ).

Ketiga sistem hukum ini memiliki karakteristik & ciri khas masing-masing mengakibatkan terjadinya perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Seperti yang telah terurai diatas, bahwa hukum waris di Indonesia masih beraneka warna coraknya, dimana tiap-tiap golongan penduduk termasuk kepada hukumnya masing-masing, antara lain hal ini dapat dilihat pada golongan masyarakat yang beragama islam kepadanya diberlakukan hukum kewarisan islam, baik mengenai tatacara pembagian harta pusaka, besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan, anak angkat, lembaga peradilan yang berhak  memeriksa & memutuskan sengketa warisan apabila terjadi perselisihan diantara para ahli waris dan lain sebagainya. Untuk golongan masyarakat non muslim,  mereka tunduk kepada hukum adatnya masing-masing disana sisi dipengaruhi oleh unsur-unsur agama & kepercayaan. Begitu juga terhadap golongan eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, aturan tentang hukum waris ini aspirasinya separuhnya diserahkan kepada hukum perdata eropa ( kitab undang-undang hukum perdata ).

Dari penjelasan tersebut diatas, mengakibatkan pula terjadinya perbedaan tentang arti & makna hukum waris itu sendiri bagi masing-masing golongan penduduk. Artinya belum terdapat suatu keseragaman tentang  pengertian  &  makna  hukum  waris sebagai suatu standard hukum ( pedoman ) serta pegangan yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia .

  1. B.     Hukum Waris Adat

Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris, serta cara harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Adapun yang dimaksud dengan harta warisan adalah harta kekayaan dari pewaris yang telah wafat, baik harta itu telah dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi. Termasuk di dalam harta warisan adalah harta pusaka, harta perkawinan, harta bawaan dan harta depetan. Pewaris adalah orang yang meneruskan harta peninggalan atau orang yang mempunyai harta warisan. Waris adalah istilah untuk menunjukkan orang yang mendapatkan harta warisan atau orang yang berhak atas harta warisan. Cara pengalihan adalah proses penerusan harta warisan dari pewaris kepada waris, baik sebelum maupun sesudah wafat. Hukum waris adat sebenarnya adalah hukum penerus harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya, seperti yang dikemukakan oleh Ter Haar:

Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur cara  bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan  yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut”.[1]

Selain itu, pendapat Soepomo ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud (immateriele goederen), dari suatu angkatan generasi manusia  kepada keturunnya.[2]

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup dan atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dari dua pendapat di atas juga terdapat suatu kesamaan bahwa, hukum waris adat yang mengatur penerusan dan pengoperan harta waris dari suatu generasi keturunannya. Hal ini menunjukkan dalam hukum adat untuk terjadinya pewarisan haruslah memenuhi 4 unsur pokok, yaitu :

(1)   Adanya Pewaris;

(2)   Adanya Harta Waris;

(3)   Adanya ahli Waris; dan

(4)   Penerusan dan Pengoperan harta waris.

Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :

(1)   Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.

(2)   Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.

(3)   Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.

Kemudian  didalam  hukum  waris  adat  dikenal  beberapa prinsip (azas umum) , diantaranya adalah sebagai berikut  :

(1)   Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka.  Kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun, maka warisan itu jatuh pada ayah, nenek dan seterusnya keatas. Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping, dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh.

(2)   Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan seseorang itu langsung dibagi diantara para ahli waris adalah sipewaris meninggal dunia, tetapi merupakan satu kesatuan yang pembagiannya ditangguhkan dan adakalanya tidak dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merukan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi untuk selamanya.

(3)   Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat (Plaats Vervulling). Artinya seorang anak sebagai ahli waris dan ayahnya, maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi (cucu dari sipeninggal harta). Dan bagaimana dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya.

(4)   Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak (adopsi), dimana  hak dan  kedudukan juga bisa seperti anak sendiri (Kandung ).

Selanjutnya akan dibicarakan pembagian harta warisan menurut hukum adat, dimana pada umumnya tidak menentukan kapan waktu harta  warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya. Menurut adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekeh atau selamatan yang disebut tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, atau seribu hari setelah pewaris wafat.  Sebab pada waktu-waktu  tersebut para anggota waris berkumpul. Kalau harta warisan akan dibagi, maka yang  menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain  :

(1)   Orang lain yang masih hidup ( janda atau duda dari pewaris ) atau

(2)   Anak laki-laki tertua atau perempuan

(3)   Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan bijaksana

(4)   Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka  agama  yang  minta, ditunjuk  dan  dipilih  oleh  para  ahli  waris.

Dalam masyarakat terutama masyarakat pedesaan sistem keturunan dan kekerabatan adat masih tetap dipertahankan dengan kuat. Hazairin mengatakan bahwa:

“…hukum waris adat mempunyai corak  tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral.”[3]

Untuk bidang hukum waris adat misalnya, pluralisme itu terjadi pada  umumnya disebabkan  oleh  adanya  pengaruh  dari  susunan / kekerabatan yang dianut di Indonesia. Adapun susunan tersebut antara lain :

(1)   Pertalian keteurunan menurut garis laki-laki ( Patrilineal )

Contoh : Umpamanya : Batak , Bali , Ambon

(2)   Pertalian keturuman menrut garis perempuan ( matrilineal )

Contoh : Minangkabau, Kerinci ( Jambi ), Semendo- ( Sumetera Selatan )

(3)   Pertalian keturunan menurut garis Ibu & bapak  ( Parental / Bilateral )

Misalnya : Melayu, Bugis, Jawa, Kalimantan ( Dayak ) , dll.

Disamping itu, dalam hal sistem pewarisanyapun bermacam-bermacam pula , yakni terbagi atas 3 ( tiga ) bagian yaitu :

(1)   Sistem Pewarisan Individual

Misalnya : Pada susunan kekeluargaan bilateral ( jawa ) & kekeluargaan patrilineal ( Batak )

(2)   Sistem Pewarisan Kolektif

Misalnya : Harta pusaka tinggi di Minangkabau, Tanah dati di Ambon.

(3)   Sistem Pewarisan Mayorat

Misalnya : di Bali , Lampung, dan lain-lain.

  1. C.    Sekilas tentang Hukum Waris Islam

Sebagaimana diketahui bersama bahwa hukum kewarisan yang berlaku adalah Hukum Faraidh. “ Faraidh menurut istilah bahasa ialah takdir ( qadar / ketentuan dan pada syara  adalah bagian yang diqadarkan / ditentukan bagi waris dengan demikian faraidh adalah khusus mengenai bagian ahli warsi yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara. Dengan demikian faraidh antara lain mengatur tentang tata cara pembagian Harta Warisan, besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan, pengadilan nama yang berwenang memeriksa dan memutuskan sengketa warisan, sahabah-sahabah, dan lain sebagainya.

Selanjutnya didalam hukum kewarisan islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Maka dengan demikian Hukum Islam tidak membatasi pewaris itu dari pihak Bapak atuapun pihak Ibu saja dan para ahli warispun dengan demikian tidak pula terbatas pada pihak laki-laki ataupun pihak perempuan saja.

Ahli waris dalam Hukum Islam telah ditetapkan / ditentukan yakni terdiri dari  :

I.       PEREMPUAN

Wanita yang menerima pusaka adalah sebagai berikut :

a. Anak perempuan

b. Cucu perempuan

c. Ibu

  1. Nenek, Ibu dari Ibu
  2. Nenek, Ibu dari Bapa
  3. Saudara perempuan se Ibu dan Bapa
  4. Saudara perempuan se Bapa
  5. Saudara perempuan se Ibu

i. Isteri

  1. Perempuan yang memerdekakan ( tidak ada lagi )

II.       LAKI – LAKI

jika dikumpulkan maka laki-laki yang mendapat harta pusaka terdiri dari 15 ( lima belas ) orang yaitu :

a. Anak laki-laki

  1. Cucu laki-laki dari anak laki-laki

c. Bapa

  1. Datuk, Bapa dan Bapa
  2. Saudara laki-laki se Ibu se Bapa
  3. Saudara laki-laki se Ibu
  4. Saudara laki-laki se Bapa
  5. Anak laki-laki saudara laki-laki se Ibu dan se bapa
  6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki se Bapa
  7. Mamak se Ibu se Bapa, saudara bapak laki-laki se Ibu se Bapa
  8. Mamak se Bapa, saudara laki-laki Bapa laki-laki se Bapa
  9. Anak laki-laki dari Mamak se Ibu se Bapa

m. Anak laki-laki dari Mamak se Bapa

n. Suami

  1. Laki-laki yang memerdekakan sahaja ( tidak berlaku lagi )

III.       ZUL  ARHAM

Yaitu kaum keluarga yang lain yang tidak memperoleh pembagian pusaka, akan tetapi hanya berdasarkan hubungan kasih sayang, ataupun disebut anak kerabat yang tidak termasuk  zawil furud dan juga tidak termasuk didalamnya golongan ashabah.

IV.       ASHABAH

Ashabah menurut ilmu bahasa artinya penolong pelindung . Ashabah terdiri dari 3 ( tiga ) bagian  :

  1. Yang menjadi ashabah dengan sendirinya ( Ashabah Binafsi )

Contoh : Semua daftar laki-laki dikurangi saudara laki-laki se Ibu dan suami

  1. Yang    menjadi   ashabah   dengan   sebab   orang  lain ( Ashabah Bi’lghair )

Contoh : Anak perempuan disebabkan karena adanya anak laki-laki dan anak  perempuan.

  1. Yang menjadi ashabah bersama orang lain (Ashabah Ma’alhair).

V.       BAITU  AL  –  MAAL.

Jikalau didalam pembagian pusaka terdapat sisa, maka sisa itu menurut paham yang dianut dan berkembang di Indonesia diberikan ke Baitalmal. Tujuanya adalah dipergunakan untuk Mesjid dan kemaslahatan Kaum Muslimin. Kemudian secara singkat atau diuraikan mengenai ketentuan bagian-bagian yang diperoleh ahli waris atas harta peninggalan sipewaris berdasarkan Hukum Islam yaitu :

  1. 1/3  ( seperdua )
  2. 1/4  ( seperempat )
  3. 1/8  ( seperlapan )
  4. 2/3  ( dua pertiga )
  5. 1/3  ( sepertiga )
  6. 1/6  ( seperenam )

Demikianlah ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Hukum Islam menyangkut masalah ahli waris dan bagian-bagian yang diperoleh terhadap harta peninggalan pewaris yang kelak akan dibagi-bagi sesama ahli waris dengan sistem kewarisan Islam yang dianut yaitu sistem kewarisan Individual / Bilateral.

  1. D.    Sekilas mengenai Hukum Waris Burgerkijk Wetboek (BW)

Berbicara mengenai hukum waris barat yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam  KUH  Perdata ( BW ) yang menganut sistem individual, dimana peninggalan pewaris yang telah wafat diadakan pembagian. Ketentuan aturan ini berlaku kepada warga negara Indonesia keturunan asing seperti eropah, cina, bahkan keturunan arab & lainnya yang tidak lagi berpegang teguh pada ajaran agamanya. Sampai saat ini, aturan tentang hukum waris barat tetap dipertahankan, walaupun beberapa peraturan yang  terdapat di dalam  KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku lagi, seperti hukum perkawainan menurut BW telah dicabut dengan berlakunya UU No. 1 / 1974, tentang perkawinan yang secara unifikasi berlaku bagi semua warga negara.  Hal ini dapat dilihat pada bab  XIV   ketentuan penutup pasal 66 UU No. 1 / 1974 yang menyatakan :  Untuk perkawinan &  segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas UU ini, maka dengan berlakunya UU ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata ( BW), ordomensi perkawinan indonesia kristen ( Hoci  S.  1993 No. 74 ) , peraturan perkawinan campuran ( Regeling op de gemengde Huwelijken, S . 1898  No. 158 ) & peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pokok hukum waris barat dapat dilihat pada pasal  1066  KUH  Perdata yang menyatakan :

(1)   Dalam hal seorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda, seorang itu tidak dipaksa mambiarkan harta bendanya itu tetap di bagi-bagi diantara orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya

(2)   Pembagian harta benda ini selalu dituntut meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu

(3)   Dapat diperjanjikan, bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu.

(4)   Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat diadakan lagi , kalau tenggang lima tahun itu telah lampau.

Jadi hukum waris barat menganut sistem begitu pewaris wafat , harta warisan langsung dibagi-bagi kan kepada para ahli  waris. Setiap ahli waris dapat menuntut agar harta peninggalan ( pusaka ) yang belum dibagi segera dibagikan, walaupun ada perjanjian yang bertentang dengan itu, kemungkinan untuk menahan atau menangguhkan pembagian harta warisan itu disebabkan satu dan lain hal dapat berlaku atas kesepakatan para ahli waris, tetapi tidak boleh lewat waktu lima tahun kecuali dalam keadaan luar biasa waktu lima tahun dapat diperpanjang dengan suatu perpanjangan baru . Sedangkan ahli waris hanya terdiri dari dua jenis yaitu:

  1. Ahli waris menurut UU disebut juga ahli waris tanpa wasiat atau ahli waris “ab Intestato”

Yang termasuk dalam golongan ini ialah

a. Suami atau isteri (duda  atau  janda) dari sipewaris (si almarhum)

b. Keluarga sedarah yang sah dari sipewaris

c. Keluarga sedarah alami dari sipewaris

II. Ahli waris menurut surat wasiat ( ahli waris  testamentair )

Yang termasuk kedalam keadaan golongan ini adalah semua orang yang oleh  pewaris diangkat dengan surat wasiat untuk menjadi ahliwarisnya.

Pada dasarnya untuk dapat mengerti & memahami hukum waris BW ini, cukup banyak bidang-bidang yang harus dibahas diantaranya pengertian keluarga sedarah dan semenda, status hukum anak-anak tentang hak warisan ab intestato keluarga sedarah, dan lain sebagainya.

Demikianlah corak hukum waris di Indonesia saat ini , yang masing-masing mempunyai warna dan karakteristik tersendiri, memiliki kelebihan dan kekurangan sesuai dengan alam pikiran serta jiwa pembentukannya, yang masing-masing hukum waris mempunyai latar belakang sejarah serta pendangan hidup dan keyakinan yang berbeda-beda pula yang mengakibatkan terdajinya pluralisme hukum waris di Indonesia.

  1. E.     Kesimpulan

Pengertian hukum waris belum terdapat keseragaman  sebagai suatu pedoman atau standar hukum, dimana tiap-tiap golongan penduduk memberi arti & definisi sendiri-sendiri, seperti terlihat pada sistem hukum kewarisan Islam, hukum waris barat dan hukum waris adat. Namun demikian berbicara mengenai hukum waris, ketiga sistem hukum waris itu sepakat bahwa didalamnya terdapat tiga unsur penting yakni, adanya harta peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan, adanya pewaris dan adanya ahli waris.

Tipis sekali kemungkinan ataupun mustahil untuk dapat menciptakan unifikasi dan kodifikasi hukum waris, mengingat kebutuhan hukum anggota masyarakat tentang lapangan hukum bersangkutan adalah beraneka ragam dan sering berbeda satu dengan lainnya sedemikian rupa sehingga perbedaan tersebut tidak mungkin disamakan. Disamping itu terkait pula dengan hubungan dan didomonasi oleh perasaan, kesadaran, kepercayaan dan agama, dengan kata lain bertalian erat dengan pandangan hidup seseorang.

Dibeberapa daerah sistem pewarisan telah mengarah kepada susunan kekeluargaan parental dan sistem pewarisan individual , walaupun disana sini masih nampak adanya pengaruh kedudukan anak tertua lelaki sebagai pengganti kedudukan ayah, keluarga-keluarga indonesia cendrung untuk tidak lagi mempertahankan sistem kekerabatan patritineal atau matrilineal dengan sistem pewarisan kolektif atau mayorat. Artinya didalam kehidupan masyarakat luas, tidak lagi mempertahankan hukum adatnya yang lama, akan tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

  1. Ter Haar, 1990, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan R. Ng Surbakti Presponoto, Let. N. Voricin Vahveve, Bandung.
  2. Soepomo,1993,  Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
  3. Hazairin, 1975, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
  4. Hilman Hadikusuma , 1993 , Hukum Waris Adat , PT. Citra Aditnya Bakti, Bandung.
  5. R. Subekti & R. Tjitrosedibio , 1980 , Kitab Undang – Undang Hukum Perdata , Pradnya Paramita , jakarta.
  6. Jurnal Syaiful Azam, Pluralisme Hukum Waris Indonesia , Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
  7. Modul Hukum Waris, Heru Kuswanto, Sistem Hukum waris, Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

Sumber Internet

  1. http://websiteayu.com/artikel/sistem-hukum-waris-adat/
  2. http://jawaposting.blogspot.com/2011/02/pengertian-dan-istilah-hukum-waris-adat.html
  3. http://kayosakti.blogdetik.com/index.php/2011/05/09/tinggalkan-hukum-waris-adat-guna-hukum-waris-islam/

KEDUDUKAN HUKUM WARIS ADAT

TERHADAP PLURALISME HUKUM WARIS DI INDONESIA

Untuk memenuhi nilai Tugas T1

Mata Kuliah Hukum Waris Adat

Dosen

Adum Dasuki, S.H.,M.S.

Oleh :

Galih Satya Pambudi

NIM 0910110162

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2012


[1] Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan R. Ng Surbakti Presponoto, Let. N.

Voricin Vahveve, Bandung, 1990, hlm.47.

[2] Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 72.

[3] Hazairin, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, hlm. 45.

 
Leave a comment

Posted by on April 1, 2012 in Hukum Waris Adat

 

Tags:

Pembidangan Hukum

LATAR BELAKANG

 

Hukum senantiasa mengalami perkembangan, tidak hanya dalam isinya melainkan juga dalam bertambahnya jenis – jenis yang ada. Perubahan , perkembangan dan  pertumbuhan tersebut pada gilirannya akan menyebabkan bahwa sistematik dan penggolongan hukum itu harus ditata kembali agar susunan rasional dari hukum itu tetap terpelihara.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PEMBAHASAN

PEMBIDANGAN HUKUM

 

Pembidangan Hukum di Indonesia dibagi menurut bentuk, isi, sifat, sumber, wujud, tempat berlakunya, cara mempertahankan dan cara pembentukannya.

 

PEMBIDANGAN HUKUM MENURUT BENTUK

  • HUKUM TERTULIS (Statute Law = Written Law)

Hukum tertulis menjadi padanan bagi hukum perundang-undangan.

  • HUKUM TIDAK TERTULIS (Unstatutery Law = Unwritten Law)

Hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti peraturan perundang – undangan. (Disebut juga hokum kebiasaan)

 

PEMBIDANGAN HUKUM MENURUT SIFAT

  • HUKUM YANG MEMAKSA

Hukum yang dalam keadaan bagaimanapun juga harus mempunyai paksaan mutlak.

  • HUKUM YANG MENGATUR (Hukum Pelengkap)

Hukum yang dikesampingkan apabila pihak – pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian.

 

PEMBIDANGAN HUKUM MENURUT ISI

  • HUKUM PRIVAT (Hukum Sipil)

Hukum yang mengatur hubungan – hubungan antara orang yang satu deangan yang lain, dengan menitikbertakan kepada kepentingan perseorangan.

  • HUKUM PUBLIK (Hukum Negara)

Hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan alat – alat perlengakapan atau hubungan antara Negara dengan perseorangan  (warganegara).

 

 

 

PEMBIDANGAN HUKUM MENURUT SUMBERNYA

  • HUKUM PERUNDANG – UNDANGAN

Hukum yang tercantum dalam peraturan perundang – undangan.

  • HUKUM KEBIASAAN (ADAT)

Hukum yang terletak pada peraturan  – peraturan kebiasaan (adat).

  • HUKUM TRAKTAT

Hukum yang ditetapkan oleh Negara – negara di dalam perjanjian antara negara (traktat)

  • HUKUM JURISPRUDENSI

Hukum yang terbentuk karena keputusan hakim.

 

PEMBIDANGAN HUKUM MENURUT WUJUDNYA

  • HUKUM OBYEKTIF

Hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenai orang / golongan tertentu. Hukum ini hanya menyebut peraturan hukum saja yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih.

  • HUKUM SUBYEKTIF

Hukum yang timbul dari Hukum Obyektif dan berlaku terhadap seorang tertentu atau lebh. Hukum ini disebut juga HAK. Pembagian hukum jenis ini kini jarang digunakan orang.

 

PEMBIDANGAN HUKUM MENURUT TEMPAT BERLAKUNYA

  • HUKUM NASIONAL

Hukum yang berlaku dalam suatu negara.

  • HUKUM INTERNASIONAL

Hukum yang mengatur hubungan hukum dalam dunia internasional.

  • HUKUM ASING

Hukum yang berlaku dalam negara lain.

  • HUKUM GEREJA

Kumpulan norma – norma yang ditetapkan oleh Gereja untuk para anggotanya.

 

PEMBIDANGAN HUKUM MENURUT WAKTU BERLAKUNYA

  • IUS CONSTITUTUM (HUKUM POSITIF)

Hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.

  • IUS CONSTITUENDUM

Hukum yang diharapkan akan berlaku pada masa yang akan datang.

  • HUKUM ASASI (HUKUM ALAM)

Hukum yang berlaku dimana – mana dalam segala waktu dan untuk segala bangsa di dunia. Hukum ini tak mengenal batas waktu melainkan berlaku untuk selama – lamanya (abadi) terhadap siapapun juga diseluruh tempat.

 

PEMBIDANGAN HUKUM MENURUT CARA MEMPERTAHANKANNYA

  • HUKUM MATERIAL

Hukum yang memuat peraturan – peraturan yang mengatur kepentingan – kepentingan dan hubungan – hubungan yang berwujud perintah – perintah dan larangan – larangan.

Cth : Hukum Pidana – Hukum Perdata – Hukum Dagang

  • HUKUM FORMAL (Hukum Proses atau hukum Acara)

Hukum yang memuat peraturan – peraturan yang mengatur bagaimana cara – cara melaksanakan dan mempertahankan hukum material atau peraturan – peraturan yang mengatur bagaimana cara – caranya mengajukan suatu perkara ke muka Pengadilan dan bagaimana cara – caranya Hakim memberi putusan.

Cth : Hukum Acara Pidana – hukum Acara Perdata

 

PEMBIDANGAN HUKUM MENURUT CARA PEMBENTUKANNYA

  • Hukum yang dibentuk oleh lembaga – lembaga negara yang punya kewenangan untuk itu. (Contoh : DPRdan Presiden, Bupati dan DPRD)
  • Hukum yang dibentuk oleh masyarakat karena kebiasaan yang dilakukan oleh orang – orang yang menggunakannya.
  • Hukum yang di bentuk oleh lembaga – lembaga adat. (Berbeda satu dengan yang lain)

 

 

KESIMPULAN

 

Seperti di muka telah dikatakan, penggolongan, pembidangan, demikian pula jumlah dan jenis hukum terus berkembang. Perkembangan tersebut terjadi seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Perkembangan yang demikian itu menciptakan lapangan – lapangan baru yang pada gilirannya memerlukan bantuan pengaturan hukum.

 
Leave a comment

Posted by on April 5, 2012 in Hukum Awal

 

ETIKA DAN PROFESI

PENGERTIAN ETIKA, MORAL, DAN AHLAK

Ada beberapa istilah yang terkait dengan etika yaitu: Etika dan Etiket, Etika dan Moral, serta Etika dan Akhlak

Perbedaan antara Etika dan Etiket:

• Antara kata “etika” dan “etikat” dalam praktik keseharian sering dipahami sama, padahal antara keduanya mempunyai pengertian yang berbeda.

• Kata etika berasal dari ethos (bentuk tunggal, bahasa Yunani) yang berarti: tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara berfikir. Bentuk jamaknya ta etha yang berarti adat istiadat. Kata yang terakhir inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika.

• Oleh Aristoteles, etika digunakan untuk menunjukkan filsafat moral yang menjelaskan fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, kebijakan, dan suara hati.

• Jadi secara etimologis, etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan yang berkenaan dengan hidup yang baik dan buruk.

• Dalam termonologi bahasa Inggris kata etika(ethics) berbeda dengan etiket (etiquette). Etika itu berkaitan dengan nilai dan norma moral (baik maupun buruk) bagi prilaku manusia.

• Sedangkan etiket berarti aturan-aturan kesopanan atau tata krama bagi prilkau manusia dalam pergaulan bermasyarakat atau di antara anggota-anggota suatu prefesi.

Perbedaan mendasar yang lain:

• Etika tidak terbatas hanya pada cara melakukan suatu perbuatan, tetapi juga memberi norma tentang perbuatan tsb boleh atau tidak.

• Etika itu berlaku kapan dan di mana saja dan tidak bisa ditawar-tawar.

• Sedangkan etiket lebih menyangkut cara melakukan suatu perbuatan dan ia bersifat lokal dan relatif.

• Ia hanya terbatas pada tempat dan kebudayaan/kelompok sosial tertentu Perbedaan antara kata Etika dan Moral.

• Kata yang agak dekat dengan etika adalah moral. Kata moral berasal dari kata maos (bahasa Latin) yang berarti: adat istiadat, kebiasaan, tabiat, akhlak, dan cara hidup.

• Jadi secara etimologis, kata etika (bahasa yunani) sama dengan arti kata moral (bahasa latin) yaitu: adat-istiadat mengenai baik-buruk suatu perbuatan.

• Adat-istiadat itu mencerminkan prilaku aktual anggota masyarakat tentang apa yang diizinkan atau dilarang untuk dilakukan.

• Dalam pengertian adat-istiadat secara keseluruhan mengandung moralitas dari suatu komunitas sosial.

• Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Sedangkan moralitas merupakan kata sifat yang artinya lebih abstrak.

• Dengan demikian moral berarti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya, menyangkut apa yang baik dan yang buruk, apa yang benar dan salah.

Ciri khas dari nilai moral, yaitu:

• Berkaitan dengan tanggung jawab/pribadi manusia yang bertanggung jawab.

• Berkaitan dengan hati nurani.

• Mewajibkan kita secara absolut dan tidak bisa ditawar-tawar untuk diwujudkan atau diakui.

• Nilai moral itu bersifat formal, artinya ia tidak dapat berdiri sendiri tetapi membonceng pada nilai-nilai lain dalam usaha mewujudkannya. Contoh orang itu baik, dari sisi apa? Di sini norma moral menjadi tolok ukurnya.

Perbedaan antara kata Etika dan Akhlak

• Di atas telah dijelaskan bahwa etika sama dengan moral. Bagiaman dengan akhlak? • Dalam kamus bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan.

• Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yang biasa diartikan dengan tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama.

• Kata akhlak tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, yang ditemukan hanyalah bentuk tunggalnya yaitu kata khuluq (Q.S. Al-Qolam:4).

• Kata akhlak justru banyak ditemukan dalam hadis Nabi seperti: “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

• Jadi akhlak itu sebagai kelakuan (baik atau buruk) manusia yang sangat beragam. Dengan demikan, pengertian etika itu merupakan bagian dari akhlak.

Pengertian Etika?

• Etika merupakan ilmu dan termasuk cabang dari filsafat yang paling tua sejak zaman Yunani kuno.

• Etika adalah refleksi kritis, metodis, dan sistematis tentang tingkah laku manusia sejauh berkaitan dengan norma-norma atau tentang tingkah laku manusia dari sudut baik-buruk.

• Segi normatif ini merupakan sudut pandang khas bagi etika, karena ia selalu mempersoalkan apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang baik dan buruk untuk dilakukan. Peranan Etika

• Yaitu sebagai pemikiran sistematis tentang moral atau pengertian yang lebih mendasar dan kritis-rasional tentang moral.

• Dalam konteks global/modern, ada tiga hal menonjol apabila kita berhadapan dengan situasi etis yaitu: a. adanya pluralisme moral yaitu ditandai oleh adanya pandangan yang berbeda-beda tentang nilai dan norma moral dalam suatu masyarakat. Seperti munculnya pola hidup yang individualistis, materialistis, hedonistis, dan konsumeristis. b. Timbul banyak masalah etis baru yang dulu tidak pernah diduga, karena pengaruh kemajuan ilmu dan teknologi. Seperti munculnya gagasan “idiologi pembebasan.” c. Masyarakat modern ternyata tengah dilanda pula oleh kepedulian etis yang universal, yang melewati perbatasan suku, ras, agama, dan negara. Seperti tercermin dalam upaya penegakan masalah HAM dan lingkungan hidup.

Sistematika Etika, ada dua kelompok:

• Etika umum, membahas prinsip-prinsip moral dasar, seperti kebebasan dan suara hati.

• Etika khusus, membahas penerapan prinsip-prinsip moral dasar tersebut pada masing-masing bidang kehidupan manusia. Etika khusus ini dibagi lagi ke dalam: a. Etika individual, membicarakan kewajiban seseorang terhadap diri sendiri. Contoh, kewajiban menjaga kebersihan diri supaya tetap sehat. b. Etika sosial, membahas kewajiban seseorang sebagai anggota masyarakat atau ummat manusia. Contoh, kewajiban menjaga kelestarian lingkungan hidup bersama.

• Dewasa ini yang paling banyak mendapat sorotan tajam adalah berkaitan dengan “etika sosial”, seperti: etika keluarga, etika profesi, etika politik, etika lingkungan hidup, dsb.

 
Leave a comment

Posted by on April 1, 2012 in Etika Dan Profesi

 

Hello world!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can always preview any post or edit it before you share it to the world.
 
1 Comment

Posted by on March 31, 2012 in Uncategorized